Saya sering merenungkan perspektif-perspektif sederhana dalam memandang kehidupan ini, agar ia menjadi tampak mudah untuk menjalaninya, salah satunya adalah perspektif : RESPON.
Dalam perspektif sederhana ini, saya memandang bahwa kehidupan sebenarnya hanyalah sekedar kumpulan-kumpulan respon saja. Yaitu respon - respon terhadap hubungan komunikasi dan interaksi yang terjadi, sehingga persoalan kehidupan inipun rasanya hanya satu hal saja, yaitu masalah RESPON.
Wahai sahabatku..
Respon - respon itulah yang sebenarnya membentuk identitas kepribadian, yang dengannya seseorang dikenal dan dikenang. Bukankah respon-respon itulah yang kemudian dinilai ‘trend-nya’ dan diraba oleh orang lain sebagai ‘sosok’ kita yang sebenarnya, yang dengan ‘sosok abstrak’ itulah sesungguhnya kita berkomunikasi & berinteraksi - bukan dengan organ-organ fisik, tapi dengan sosok kepribadian yang melahirkan ’respon fisik’ itu.
Disinilah kita menyadari, mengapa, Allah swt pun menilai bukan terhadap kualitas fisik melainkan pada kualitas respon-respon terhadap jalinan interaksi dan komunikasi dalam sejarah kehidupan seseorang (‘amal / sikap).
Wahai sahabatku..
Saya jadi merenungkan tentang manusia, yang perut & syahwat-nya demikian mendominasi respon – responnya, hingga ia memenuhi seluruh cerita tentang hidupnya..
Saya juga merenungkan tentang manusia, yang respon-responnya hampir selalu tentang hal-hal kecil & urusan – urusan sepele - maka saya merasa itulah kira-kira class-nya.
Padahal, kehidupan ini sungguh menyajikan begitu banyak warna & dinamika dan juga begitu luas pula kanvas yang tersedia, anda selalu tinggal memilih respon-respon keterlibatan anda disana.
Semakin banyak dimensi yang anda libatkan tentu saja semakin menegaskan kehadiran & pengaruh anda, juga dinamika yang akan tercipta. Respon lisan dengan hati tentu lebih baik daripada respon lisan saja tanpa hati, dan tentu akan sempurna jika disertai dengan respon ‘amal (aktifitas), apalagi ditambahkan pula harta bahkan sebagian manusia meraih kehormatan & kemuliaannya dengan mempertaruhkan nyawa untuk lukisan di kanvasnya..
Wahai sahabatku..
Keragaman respon manusia tentu saja berawal dari derajat sensitifitas yang berbeda. Logika, pemahaman & paradigma sungguh telah menyebabkan konstruksi kepekaan yang tak sama diantara mereka.
Bukankah seseorang perlu pengetahuan agar sensitive terhadap bahaya, perlu pemahaman untuk menjadi peka terhadap faktor-faktor yang mengancamnya, perlu ilmu untuk ‘aware’ pada potensi & kekuatan yang dimilikinya – sebagaimana juga ia perlu kontepelasi (ibadah) untuk tak mudah emosi, perlu mengambil jarak untuk menjadi bijak. Benar sehabatku, itulah dua dimensi kepekaan manusia, kepakaan akal dan kepekaan jiwa..
Wahai sahabatku,
Dalam renungan ini aku menangkap sebuah ironi..
Berduyun-duyun manusia mendatangi tempat-tempat ibadah, menyerahkan diri penuh kontapelasi, sungguh ikhlas mensucikan jiwa & menghidupkan hati, membersihkannya agar ia sensitif dan menjadi peka tetapi.. kontapelasi indah itu sungguh menyibukkan & menyita hampir semua waktunya hingga tak ada lagi waktu untuk ‘melukiskan’ respon-respon pada kanvas kehidupannya.
Benar sahabatku, sebuah ironi tentang keterputusan antara membangun sensitifitas & melahirkan respon. Inilah ironi kehidupan para ahli ibadah, yang menjebak dengan cara yang sama, para ilmuwan dalam ilusi pengetahuan - yang jauh dari aspek praksis kehidupan. Sungguh mereka tidak melahirkan apa-apa kecuali akhirnya hanyalah pantulan kekecewaan & skeptisme pada warna-warna dunia..
Wahai sahabatku..
Liarnya kehidupan & riuhnya godaan, sungguh membuat sensitifitas itu selalu membutuhkan komitmen & keberanian - bahkan kadang-kadang - untuk lahirnya satu respon saja yang benar dan efektif di sana..!!.
Demikianlah, aku merenungkan kesempurnaan siklusnya : ilmu & ibadah, sensitifitas & kepekaan, kemudian komitmen & keberaniaan, barulah respon - respon indah kehidupan.
Wahai sahabatku..
Maka, saya pun mulai membaca posisi diri, mengapa respon - respon buruk terus saja terjadi..?
Sungguh sahabatku, beritahukanlah segera,..apakah ini masalah sensitifitas, awareness, komitmen, keberanian ataukah.. semuanya bermasalah ?
Kamis, 05 Maret 2009
RESPON KEHIDUPAN
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar